How To Be A Good Doctor

Jumat, 17 September 2010

Inilah Malingsial (Fact of Malaysia)

  1. Merasa dirinya developed country, padahal GDP/capita hanya 5000 USD (angka inipun sudah dimanipulasi oleh Kerajaan Malaysia), experts memperkirakan angka yang benar adalah sekitar 1500-2000 USD/ kapita/ tahun.
  2. Punya program luar angkasa, tapi tak punya teknologi pembuatan rocket.
  3. Bangga dengan kemampuan memperkerjakan tenaga kerja asing, sementara uang mereka diperas dikirim ke negara asal pekerja-pekerja tersebut dan banyak warga mereka yang menganggur karena kalah bersaing.
  4. Merasa universitas mereka terhebat di Asia....baru terbuka matanya setelah keluar ranking baru bahwa merekalah yg paling rendah...setara dengan Somalia dan Sudan, agak sedikit di atas University of  East Timor saja.
  5. Bangga dengan Menara Petronas yang dibangun oleh Korea Selatan.
  6. Mengeluarkan banyak uang untuk tourism marketing tapi memukuli dan menyiksa turis yg masuk... mana ada lagi orang yg mau datang.
  7. Bangga sebagai negara yang banyak kedatangan turis. Dia lupa bahwa turis yang masuk ke negaranya sebagian besar adalah orang Singapore yang mengunjungi family dan orang Indonesia yang hendak cari kerja... jadi bukan turis yg sebenar-benarnya.
  8. Tidak bisa memanfaatkan potensi besar bangsa China dan India sebesar-besarnya karena rasa iri hati sehingga menggunakan NEP dan lain-lain policies untuk membatasi perkembangan kekuatan bangsa China dan India.
  9. Tidak mampu menciptakan budaya sendiri sejak nenek moyangnya hingga sekarang. Orang Amerika saja mampu menciptakan budaya sendiri yang berbeda dari orang Eropa.
  10. Tingkat buta huruf masih mencapai 17% dari total populasi.
 
Orang Sarawak Paling Miskin Di Dunia
Fakta Yang Di Sembunyikan Dari Warganya
  1. Pengakuan secara jujur dari Datuk Anwar Ibrahim pada NewYork Times, bahwa sebagian besar pemimpin Malaysia terlalu pongah dan sombong meskipun sebenarnya malaysia adalah negara lemah dan korup sehingga tidak bisa menghargai negara-negara tetangganya.(Di Indonesia ada KPK).
  2. Terbatasnya akses informasi dari media informasi (surat kabar, televisi dan lain-lain) bagi rakyat Malaysia sehingga hanya sedikit saja informasi mengenai negara-negara tetangga yang dipunyai. Hal ini menyebabkan hidup rakyat malaysia seperti katak dalam tempurung. Akibatnya, mereka merasa pintar padahal sesunggunya hidup dalam kemalasan dan kebodohan yang teramat sangat. Nilai-nilai demokrasi yang dicapai oleh negara tetangganya tidak banyak diketahui oleh rakyat malaysia. Hal ini memang disengaja oleh pemerintah mereka agar rakyat tetap bodoh sehingga tidak membahayakan kekuasaan mereka.(malaysia negara demokrasi????)
  3. Menurut analisis Robert C. Lie (Times magazine, June 2007), fenomena yang berlaku di Malaysia ini dalam istilah psikologi merupakan mekanisme pertahanan diri. Intinya, adanya kelemahan, kebodohan, serta kegagalan bangsa Malaysia mengaktualisasikan diri sebagai suatu bangsa yang bisa dihormati oleh bangsa lainnya menyebabkan mereka berusaha sekuat tenaga membalik penilaian tersebut dengan memberikan stigma yang lebih jelek terhadap negara tetangganya.
  4. Analisis dari Dinas Rahasia Rusia (2006) terhadap fenomena teroris Dr. Azahari dan Nurdin Moh. Top, menyatakan bahwa kedua orang tersebut adalah merupakan kaki tangan / agen rahasia Malaysia bekerjasama dengan CIA disusupkan ke Indonesia untuk mencegah fenomena kebangkitan Islam moderat di Indonesia. Seperti Analisis dari CIA, keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia yang diikuti dengan kebangkitan Islam di Indonesia akan menjadikan Indonesia sebagai Negara besar dan maju di regional Asia Pasifik. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan bagi malaysia yang berupaya menjadi pemimpin di wilayah ini namun tidak memiliki kemampuan sama sekali. Kepentingan USA terhadap wilayah ini juga akan terganggu bila Indonesia berhasil muncul menjadi Negara besar dan maju di kawasan ini.
  5. Dalam era globalisasi dewasa ini, peperangan bukan lagi menjadi suatu kunci bagi memenangi suatu persaingan. Justru saat ini yang dibutuhkan adalah soft power. Keunggulan budaya salah satunya. Dalam banyak hal ini jelas sekali keunggulan budaya Indonesia atas malaysia. Lagu-lagu Indonesia banyak membanjiri malaysia, bahkan menjadi top chart di negara mereka. Belum lagi hasil-hasil budaya lainnya seperti film, kerajinan, pencak silat, kebudayaan tradisional, dan lain-lain. Arsitektur misalnya, sudah menjadi pengetahuan umum bila menara kembar Petronas mencontek dari desain Candi Prambanan di Indonesia. Fenomena ini diakui oleh budayawan serta banyak artis Malaysia, salah satunya adalah Amy yang begitu gundah atas membanjirnya produk budaya dari Indonesia ke malaysia.
  6. Tidak ada satupun kurikulum mancanegara yang memasukkan mata pelajaran bahasa malaysia kedalam kuliahnya, satu-satunya turunan dari bahasa melayu yang dijadikan kurikulum pendidikan bahasa asing adalah bahasa Indonesia.(University di Australia, Belanda, Rusia, China, Jepang, Eropa, USA). Hal ini disebabkan karena bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa yang berpotensi semakin besar pemakaiannya di dunia (UNESCO).

Selasa, 14 September 2010

Hakekat Nilai suatu Jabatan, Kekuasaan dan Kekayaan

Alkisah Khalifah Harun Ar Rasyid sedang dalam sebuah perjalanan melintasi sebuah gurun pasir menunggangi unta. Bersamanya Seorang Penasehat yang bijak, Ibnu Samak. Perjalanan panjang di siang yang panas. Terik matahari membuat dehidrasi rombongan dan sang khalifah pun kehausan. Pada satu tempat yang teduh, Harun ar Rasyid menepi.
Ibnu Samak menawarkan segelas air sambil berujar :“Khalifah…, dalam kondisi panas dan tenggorokan kehausan, andaikata engkautidak dapatkan air untuk minum kecuali dengan harus mengeluarkan separuh kekuasaanmu, sudikah engkau membayar dan mengeluarkannya? !”
Tanpa pikir panjang khalifah ar Rasyid menjawab, “Tentu Aku bersedia membayarnya seharga itu asal tidak mati kehausan!”
Maka usai mendengarnya, Ibnus Samak memberikan segelas air itu dan khalifah pun tidak lagi kehausan.
Kemudian Ibnu Samak melontarkan pertanyaan lagi :“Khalifah, andai air segelas yang engkauminum tadi tidak keluar dari lambungmu selama beberapa hari tentulah amat sakit rasanya. Perut jadi gak keruan dan semua urusan jadi berantakan karenanya. Andai kata bila engkauberobat demi mengeluarkan air itu dan harus menghabiskan separuh kekayaanmu lagi, akankah engkausudi membayarnya? ”
Mendengar itu, sang khalifah merenungi kondisi yang disebut oleh Ibnus Samak. Seolah mengamini maka khalifah menjawab, “Saya akan membayarnya meski dengan separuh kekuasaanku !”

Mendengar jawaban dari sang khalifah, maka Ibnus Samak sang penasehat raja yang bijak kemudian berkomentar, “O…., kalau begitu seluruh Kekuasaan yang khalifah miliki itu rupanya hanya senilai segelas air saja! ” sungguh sangat tidak wajar diperebutkan atau dipertaruhkan tanpa hak ”

Sahabatku rahimakumullah,’
Itulah harga sebuah jabatan, sebuah kerajaan, kekuasaan dan kekayaan ternyata sama dengan harga segelas air. Dimana makna yang terkandung didalamnya adalah hendaklah kita jangan merasa bangga dan sombong dengan segala kekayaan yang kita miliki. Dan juga jangan saling memperebutkannya dengan menghalalkan segala cara. Karena kekayaan material di dunia sifatnya hanya sementara saja. Tidak lebih dari segelas air kala kita kehausan.

Kisah diatas melukiskan betapa tidak berartinya harga kekuasaan dan kekayaan yang selalu dikejar oleh banyak orang selama ini. Demi kekayaan banyak orang tega memfitnah bahkan membunuh saudaranya. Demi kekuasaan kadang orang tega mengorbankan ribuan hingga jutaan rakyatnya. Padahal itu semua hanya seharga segelas air di kala kita kehausan. Tidak lebih….

Diriwayatkan, pada suatu hari ketika Rasulullah SAW melalui bangkai kambing. Lalu baginda bersabda: “Tidakkah engkau lihat bangkai ini telah dihinakan oleh pemiliknya?” Mereka menjawab, “Jelas saja hina. Buanglah dia!” Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Demi Zat yang aku dalam kekuasaan-Nya. Sesungguhnya DUNIA ini lebih hina bagi Allah daripada bangkai kambing ini bagi pemiliknya. Kalau dunia di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk, tidak akan seteguk air pun diberikan kepada orang kafir.”

Pada suatu waktu, Rasulullah memegang pundak Abdullah bin Umar. Beliau berpesan, ”Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau orang yang sekadar melewati jalan (musafir).” Abdullah menyimak dengan khidmat pesan itu dan memberikan nasihat kepada sahabatnya yang lain. ”Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya, bila engkau berada di pagi hari, janganlah engkau menanti datangnya sore. Ambillah (manfaatkanlah) waktu sehatmu sebelum engkau terbaring sakit, dan gunakanlah masa hidupmu untuk beramal sebelum datangnya kematianmu.” (HR Bukhori).
Allah SWT berpesan pada pelbagai ayat tentang hakikat, kedudukan, dan sifat dunia yang memiliki nilai rendah, hina, dan bersifat fana. Dalam surat Faathir ayat 5, Allah menekankan bahwa janji-Nya adalah benar. Dan, setiap manusia janganlah sekali-kali teperdaya dengan kehidupan dunia dan tertipu oleh pekerjaan setan.
Di ayat lain dalam surat Al-Hadid ayat 20, Allah berfirman, ”Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.

”Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Kahfi: 45).

Sahabatku rahimakumullah,
Marilah kita renungkan ayat Allah, hadist dan kisah pendek di atas dan kita rasakan betapa tidak berharganya sebenarnya jabatan, kekuasaan dan kekayaan ini. Begitulah hakikat dunia pada pandangan Allah SWT dan Rasul-Nya. Namun, kebanyakan manusia melihat yang sebaliknya. Kita mengagung-agungkan dunia dan segala perhiasannya yang bersifat fana dan lupa destinasi/tujuan utama kita, Akhirat yang kekal abadi. Kejayaan dunia lebih kita risaukan jika tidak diperolehi berbanding kejayaan di Akhirat yang entah bagaimana nasib kita.
Dan marilah kita syukuri nikmat yang telah dilimpahkan Allah SWT kepada kita amat sangat banyak, hingga kita tak akan mampu dan ttidak pernah akan sanggup mampu menghitungnya.

"Seandainya kalian menghitung nikmat Allah, tentu kalian tidak akan mampu"(QS,An-Nahl: 18)

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”(QS. ar-Rahman (55) : 13)

Sahabatku,
Marilah kita jadikan dunia ini sebagai wasilah untuk mengarungi negeri kekal dan abadi yaitu negeri akherat, dengan marilah kita senantiasa beribadah kepada Allah,dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya,serta mentadaburi dan mentafakuri apa-apa yang diciptakan Allah di alam semesta ini.
Bârakallâhu lî wa lakum, wallâhu a’lam bissawwâb.

Terima kasih, Semoga Bermanfaat

"Utamakan SEHAT untuk duniamu, Utamakan AKHLAK dan SHALAT untuk akhiratmu"

Quality of the leader (in Bahasa)

[Article] KUALITAS PEMIMPIN

Untuk mendefinisikan kualitas-kualitas terbaik dari pemimpin-pemimpin yang paling efektif. Berikut ini adalah lima kualitas yang paling sering disebut-sebut sebagai kualitas paling penting yang dimiliki oleh para pemimpin tersebut.
  • Pemimpin mendengarkan. Para pemimpin besar tahu pasti bahwa mereka tidak memiliki semua jawaban. Karenanya mereka tidak merasa canggung untuk bertanya dan meminta pendapat maupun wawasan dari orang lain.
  • Pemimpin menunjukkan arah. Para pemimpin menunjukkan arah dengan mengembangkan dan memberikan dukungan visi, misi, dan tujuan bagi diri mereka sendiri dan organisasi mereka. Mereka tahu bagaimana memberikan dorongan dan dukungan. Mereka pun selalu berusaha menemukan cara-cara yang lebih baik.
  •  Pemimpin menciptakan lingkungan yang penuh motivasi. Para pemimpin menciptakan suasana motivasi yang menyala-nyala dalam menghadapi perubahan. Para pemimpin itu menunjukkan penghargaan dan keberanian (daripada mencemooh atau menyalahkan orang lain) pada mereka yang bersedia mencoba hal-hal baru meski mungkin saja mereka gagal.
  • Pemimpin tidak menyalahkan. Daripada menyalahkan, mereka senantiasa belajar. Pemimpin sejati berusaha menciptakan lingkungan kerja yang menunjang Suasana pembelajaran yang tiada henti serta pembaharuan diri. Mereka dengan bebas membagikan keahlian dan juga kegagalan-kegagalan mereka.
  • Pemimpin memimpin dengan teladan. Pemimpin menjadi teladan dan mempertahankan nilai-nilai yang tak berubah. Para pemimpin besar memiliki standar profesional dan personal yang tinggi. Mereka juga menghargai kekayaan yang ada pada keragaman dan perbedaan para karyawannya. Mereka realitis. Mereka bukan orang yang berkata, "Lakukan sebagaimana kataku, bukan sebagaimana tingkahku." Pemimpin besar menjaga komitmen mereka.Pemimpin membagikan kekuasaan mereka dalam membuat keputusan dengan orang lain di seluruh organisasi. Mereka paham benar dengan perbedaan antara "kekuatan" dan kekuasaan". Kekuatan adalah kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan secara efektif. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan.
Apakah anda lebih suka terinspirasikan atau terkendalikan?
Apakah para pemimpin anda telah menunjukkan kualitas-kualitas tersebut di atas?
Jika tidak, bagian manakah yang terlewati dan apa yang harus anda lakukan?
dr. Pramadhya Bachtiar, M.Kes

Joe Girard Van Detroit

Jika Muhammad Ali adalah jago tinju sedunia, siapakah jago jual sedunia? Kecuali Anda pernah bekerja di bidang penjualan mobil, saya tidak yakin Anda mengenalnya. Dia adalah Joe Girard, world-class achiever di bidangnya. Dan saya ingin memperkenalkan kepada Anda sang legendaris ini. Nama Joe Girard kini tercatat abadi sebagai “World's Greatest Salesman” menurut The Guinness Book of World Records. Latar belakangnya yang miskin penuh derita membuat suksesnya lebih bercahaya. Ia adalah pahlawan wiraniaga terbesar yang bisa disejajarkan dengan Rudy Hartono di bulu-tangkis, Karpov di catur, atau Pele di sepakbola.
Joe Girard, yang tinggal di Detroit ini, selama 12 tahun berturut-turut berhasil menjual puluhan ribu mobil – sendirian - dengan rata-rata penjualan 6 kendaraan per hari. Penjualan ini ekivalen dengan kinerja sebuah dealer mobil berukuran top di Indonesia dengan dukungan karyawan 30-an orang.

Bulan Oktober 1992 dia datang ke Indonesia dan memukau ratusan pendengarnya, yang membayar US$ 250.00 per orang, dalam seminar setengah hari di Hotel Hilton, Jakarta. Di sana ia menceritakan kiat-kiatnya menjadi jago dunia.
Berikut adalah analisis saya tentang profil keberhasilan spektakuler Joe Girard yang saya dengar dari ceramah itu, dan dilengkapi oleh informasi dari beberapa buku tulisannya. Sekaligus saya ingin mencoba mendeskripsikan profil seorang jago dunia secara umum.

1. Jago Dunia Memiliki Tekad Baja
Barangkali karakter Joe Girard yang paling menonjol adalah niat dan tekadnya yang sangat kuat untuk berhasil. Anda dapat menerjemahkan niat dan tekad ini sebagai ambisi suci, keinginan mulia, atau kerinduan agung. Apa pun namanya, niat besar ini telah memberinya semacam tenaga batin (inner power) yang luar biasa untuk meretas belenggu-belenggu kegagalan dan keterbatasan, serta meraih sukses dalam karirnya.
Untuk berhasil, apalagi sampai tingkat dunia seperti Joe Girard, sejumlah hambatan dan rintangan seperti kemalasan, ketakutan, godaan, keterbatasan pengetahuan, keterbatasan relasi, kurang fasilitas, kurang modal dan 1001 kekurangan lainnya harus diatasi.
Joe Girard sendiri tidak lulus SMP, dibesarkan di daerah kumuh oleh seorang ayah mafia kelas teri, berkali-kali ditangkap polisi karena mencuri dan kriminal lainnya. Latar belakangnya sungguh muram. Tetapi tekadnya untuk berhasil lebih kuat daripada kelemahan yang membelenggu dirinya. Hal itu pula yang membuatnya mampu mengatasi kelaparan, kehausan, kelelahan, tekanan, ejekan, pelecehan, salah pengertian, bahkan tantangan dan ancaman.

2. Jago Dunia Digerakkan Oleh Visi
Joe Girard sangat fasih menuturkan apa yang dikehendakinya, seolah - olah impiannya tersebut sudah ada, sudah terlihat, sudah nyata. Kemampuannya menyentuh ikhwal imajiner ini bahkan sudah sampai ke tahap emosional, artinya emosinya sudah mampu merangsang kehendaknya atas hasil masa depan yang dirindukannya. Inilah yang secara praktis saya sebut dengan visi atau sasaran agung, yakni kemampuan melihat dan merasakan sesuatu pada ruang masa depan.
Apa manfaat praktis dari sebuah visi? Manfaat terbesar adalah menyediakan arah, tuntunan, dan gairah hidup bagi sang visioner. Dengan demikian, upaya dan kegiatannya menjadi efektif dan sekaligus juga efisien. Di pihak lain, orang yang tidak punya visi gampang teralihkan dan kemudian terombang-ambingkan. Ia tidak tahu apa yang dikehendakinya. Kadang, meskipun tahu, tetapi tidak sejelas kristal, dengan akibat tidak punya daya, powerless.

3. Jago Dunia Tekun dan Tabah
Ketekunan dan ketabahan adalah kemampuan menyelesaikan suatu pekerjaan sampai tuntas, selesai dan berhasil, apa pun halangannya. Lawan sifat ini adalah gampang menunda. Orang yang tidak tekun mudah menyerah pada godaan sesaat - menyimpang dari rel visi - yang umumnya dapat digolongkan pada tiga kategori: nafsu mata, nafsu perut, dan nafsu libido.
Meskipun pemenuhan nafsu-nafsu di atas tidak salah, bahkan esensial bagi eksistensi kehidupan kita, tetapi pemenuhan berlebihan (indulgency) tidaklah menyehatkan pada tingkat psikologis. Pada taraf tertentu, nafsu-nafsu itu perlu didisiplinkan dan ditahan. Secara umum inilah tujuan paling praktis dari tradisi ber-puasa, berpantang, bertarak, atau mutih.
Bertekun mengerjakan sesuatu memerlukan pengorbanan, dalam bentuknya yang khusus, menolak pemenuhan ketiga nafsu di atas untuk sementara, sampai tugas itu tuntas selesai. Menunda sebuah pekerjaan penting demi acara tinju di TV misalnya, adalah contoh ketidaktekunan. Cita-cita menjadi jago dunia pun tinggal ilusi.
Joe Girard memahami arti ketekunan ini. Dia melakoninya hingga tuntas. Kisahnya memelihara ribuan file pelanggan dan mengirimkan kepada masing-masing satu kartu khusus setiap bulan adalah salah satu contoh ketekunannya. Menurut Joe Girard, tidak ada pelanggannya yang berhenti membeli mobil darinya, kecuali mereka pindah dari Amerika atau meninggal dunia. Juga, kisah bagaimana ia menelepon pelanggan sehari penuh sampai malam, memenangkan penjualan yang sangat dibutuhkannya adalah contoh ketabahannya. Dan ketekunan dan ketabahannya membuahkan hasil.

4. Jago Dunia Selalu Berpikir Positif
Mental positif adalah sikap dasar dalam mendekati segala sesuatu dengan positif. Sikap positif berakar pada sejumlah keyakinan yang juga positif seperti: bekerja itu sehat; kejujuran adalah modal dasar; tanpa komitmen tiada sukses; apa pun yang terjadi selalu ada manfaatnya; kerjasama adalah kunci sukses; tahan menderita adalah sehat; hari esok tak sama dengan hari kemarin; selalu ada cara yang lebih baik dari cara sekarang; melayani berarti memimpin; memaafkan itu menyehatkan jiwa; dan 1001 keyakinan positif lainnya.
Joe Girard digelari sebagai The Positive Thinker No. 1 oleh Norman Vincent Peale, pengarang buku laris sepanjang zaman The Power of Positive Thinking. Dan gelar ini memang betul. Jika kita membaca buku Joe Girard, maka semangat yang paling menonjol adalah pikiran positif. Ia bahkan mampu mentransformasikan residu pengalaman negatifnya dari masa lampau menjadi tenaga pendorong positif bagi hidupnya di masa kini. Misalnya gelar sebagai "anak tidak becus" yang diberikan ayahnya sambil memukuli dirinya ketika ia masih SD – yang membekaskan luka dalam di hatinya - menjadi pemecut semangatnya untuk membuktikan sebaliknya. Tiap kali ada tendensi ia membelok dari cita - citanya, diingatkannya dirinya bahwa anak tidak becus akan menjadi kenyataan.

5. Jago Dunia Selalu Bersemangat dan Antusias
Barang siapa pernah melihat Joe Girard berbicara, maka dia pasti setuju bahwa antusiasme superior adalah ciri khas tokoh kita ini. Ia berlari, melompat, dan berteriak di panggung seminar. Suaranya melengking, bergetar, atau membahana di mana perlu. Lain kali suaranya mengecil dan berbisik sambil menangis. Ia berbicara dengan hati dan emosinya. Baginya panggung seminar adalah panggung teater.
Ia bukan tipe seminaris yang membaca makalah dengan kering dan membosankan.
Akan tetapi, di luar panggung pun, Joe Girard sungguh-sungguh antusias. Ia menyapa orang-orang dengan hangat dan bersemangat. Bila kita berbicara dengannya daya magnetik pribadinya sungguh-sungguh memikat dan memukau. Kita merasa disemangati, diisi baterainya dan dikuatkan. Tidak heran, calon-calon pembeli mobilnya begitu terpikat dan membeli mobilnya dengan senang. Bahkan dikisahkannya, seorang wartawan yang semula cuma berniat mewawancarainya, akhirnya membeli mobil usai acara karena the power of enthusiasm ini.

6. Jago Dunia Pandai Dalam Relasi Antarmanusia
Bisnis berarti hubungan dengan banyak orang. Semakin maju bisnis kita, semakin banyak kita harus berhubungan dengan orang lain. Konon BCA dengan tabungan TAHAPAN yang terkenal itu saja harus melayani sekitar 20 juta nasabah. Suatu jumlah yang lebih besar dari penduduk Malaysia. Berarti BCA harus membina hubungan dengan nasabah sebanyak itu. Dapat ditebak bahwa salah satu sukses BCA adalah kemampuan mereka menangani manusia. Sebaliknya dapat dipastikan, problem nomor satu pun adalah people relations juga.
Joe Girard menjual secara pribadi sekitar 1.500 mobil per tahun, berarti ia harus menjumpai lebih banyak lagi calon pembeli. Sesudah itu pelanggannya dipelihara melalui surat, telepon atau undangan khusus. Hasilnya 80% penjualannya adalah repeat order, yaitu penjualan berulang. Sulit dibayangkan bagaimana Joe Girard bisa sukses tanpa human relations yang canggih.
Dari percakapan dengan Joe Girard, mendengar ceramahnya, dan membaca bukunya, saya simpulkan bahwa prinsip utama human relations yang diterapkannya adalah "menyukai orang lain secara sungguh-sungguh". Dalam bahasa lain dia berkata: to love my customers honestly, genuinely, sincerely.
Motto Joe Girard: “I Like You” dengan logo apel merah, telah menjadi identitas pribadinya. Ia mengucapkannnya, menerapkannya, menghayatinya dan mengkristalkannya dalam bentuk lambang dan suvenir.
Tak heran Tom Peters memujinya dalam In Search of Excellence sampai dua halaman. "Joe Girard seems to care genuinely," komentar Tom Peters mengakhiri analisisnya.

7. Jago Dunia Kreatif Otaknya
 Menjadi jago dunia adalah dambaan banyak orang. Kita punya energi, semangat, antusiasme, keterampilan, dan percaya diri. Itu baik dan itu sangat perlu. Tetapi tanpa strategi dan taktik yang tepat semua itu kurang berguna. Fakultas yang membimbing kualitas-kualitas di atas menjadi jago dunia ialah kecerdasan.
Perpustakaan saya berisi lebih dari 3 lusin literatur kewiraniagaan, tetapi jarang buku-buku tersebut menawarkan ide dan konsep baru. Buku-buku Joe Girard (3 buah banyaknya) boleh dikatakan mengandung 85% konsep-konsep standar kewiraniagaan dan 15% ide-ide baru.
Nah, di sini cerdasnya Joe Girard yang tidak lulus SMP itu. Dua di antara ide-ide baru tersebut yang sangat orisinil adalah Hukum Girard 250 dan Sistem mailing 12 bulan.
Hukum Girard 250 berkata bahwa setiap wiraniaga mempunyai pelanggan alamiah sebanyak 250 orang. Menurut Girard, dari temuannya di kantor Dinas Pemakaman, rata-rata orang mati dilayat oleh 250 orang. Girard menafsirkan, terdapat 250 orang yang sangat dekat secara emosional dengan almarhum, sehingga sampai bersedia meluangkan waktu ke rumah duka dan ke pemakaman. Nah, fenomena alamiah ini, membuat Girard berpikir bahwa terdapat 250 orang juga yang karena kedekatan emosionalnya, bersedia "berkorban" untuk seorang wiraniaga, mulai dari diganggu telepon, didatangi, dijelasi brosur, dan akhirnya membeli.
Maka Girard menetapkan bahwa sebagai langkah awal, dia harus bisa mengumpulkan 250 orang prospek untuk dilayani, dipelihara, dan dijuali. Dengan modal pelanggan sebanyak 250 orang ini, ekspansi pelanggan selanjutnya menjadi mudah. Sistem mailing 12 bulan adalah sistem pelayanan pelanggan dimana semua pelanggannya - tanpa kecuali - pasti menerima 12 buah surat dalam setahun dari Joe Girard sendiri. Yang menarik adalah bahwa setiap bulan amplopnya berbeda baik warna maupun ukurannya. Bukan cuma itu, ucapannya pun berbeda. Mulai dari Selamat Tahun Baru (Januari), Selamat Hari Valentine (Februari), sampai Selamat Natal (Desember). Dan salah satunya tentu: Selamat Ulang Tahun dari Joe Girard. Konon surat bulanan Joe Girard selalu ditunggu-tunggu oleh puluhan ribu pelanggannya.

8. Jago Dunia Menjunjung Tinggi Kejujuran
 Joe Girard menyediakan satu pasal penuh dalam bukunya untuk membahas aplikasi kejujuran dalam bisnis di bawah judul Honesty Is the Best Policy. Barangsiapa beranggapan kejujuran tidak berguna dalam bisnis, saya anjurkan membaca pasal ini.
Tesis Joe Girard adalah: kejujuran adalah landasan kepercayaan; kepercayaan adalah basis hubungan baik; dan hubungan baik adalah medium hubungan bisnis yang langgeng. "Jadi, jika ingin berbisnis dengan langgeng, jujurlah kepada para pelanggan. Mereka akan respek, percaya dan datang kembali," tegas Joe Girard.
Memang terasa absurd berusaha melayani pelanggan agar terjadi customer satisfaction, tetapi kemudian membohongi mereka. Ini ibarat menuang nila semangkok ke dalam belanga susu yang kita jual. Bukan laba yang kita peroleh melainkan marah.

9. Jago Dunia Jago Berkomunikasi
Temu muka dengan Joe Girard adalah pertemuan yang penuh semangat. Tidak ada kepasifan. Ia senantiasa aktif: bertanya, menyapa, memuji, mensugesti atau mendengar. Akibatnya kita ikut terbawa aktif. Ia tidak hanya menggunakan mulutnya tetapi juga tubuh, mata, tangan dan senyumnya. Pokoknya ia adalah seorang yang aktif-positif-dinamis dalam berkomunikasi.
Dalam proses komunikasi ini, ia menghilangkan jarak dan rasa takut antarmanusia. Sebaliknya tercipta suasana enak, segar dan menyenangkan yang membuat kita menerima dia, menyenangi dia, meyakini apa katanya, dan tentu akhirnya membeli mobilnya. Ia pandai sekali mengkomunikasikan isi hatinya dan isi kepalanya dengan positif, sehingga residu emosi negatif kita hilang digantikan dengan yang positif.

10. Jago Dunia Selalu Bersikap Konsisten
Semua orang setuju bahwa pelaku bisnis itu harus ramah, baik, melayani, menolong, memberi perhatian, menghormati dan berusaha memuaskan pelanggannya. Namun, kata Tom Peters, "Kebanyakan kita tidak sungguh-sungguh menerapkannya. Hanya mereka yang excellent – jago dunia - yang menerapkannya secara sungguh-sungguh, tuntas, dan konsisten."
Joe Girard menerapkan kiatnya, ilmu dan falsafah bisnisnya dengan konsisten. Hasilnya adalah kemajuan dan pertumbuhan. Jika akhirnya ia terkenal ke seluruh dunia, kaya dan populer, hal itu merupakan buah yang wajar dari konsistensi perilakunya. Konsistensi adalah akar keberhasilan sejati.
Merenungkan kisah Joe Girard, kita dapat menarik sebuah kesimpulan: bahwa menjadi world-class achiever tidaklah mudah. Tanpa kemampuan dan keahlian, khususnya tanpa motivasi superior dan stamina ekstra, seseorang tidak mungkin menjadi achiever besar. Maka pertanyaan penting adalah, dari manakah sang achiever memperoleh motivasinya sehingga ia dapat bertahan dalam arena kompetitif itu?
Pasti tidak dari sekadar uang saja meskipun dunia para achiever berkelimpahan dengan uang. Lagipula sudah diketahui bahwa motivasi uang selalu berbentuk kurva lonceng (bell shaped curve), maksudnya uang memang memotivasi orang, tetapi sesudah uang tersebut diperoleh, tingkat motivasinya akan turun dan melandai; mendaki mencapai puncak kurva lonceng lalu menurun menuju dasar kurva.

Studi saya menyimpulkan bahwa motivasi ekstra seorang achiever ternyata selalu berasal dari ruang moral-spiritual. Dari ruang inilah dapat digali pelbagai macam motivasi super, seperti demi negara, demi bangsa, demi kekasih hati, demi keindahan, demi perdamaian, demi demokrasi, demi kemajuan peradaban, demi nama keluarga, demi pengembangan diri menuju puncak kesempurnaan, dan sebagainya.
Intinya, motivasi agung ini berasal dari sebuah falsafah yang ideal dan keyakinan kuat bahwa pencapaian itu adalah baik, benar, dan mulia. Motivasi super inilah yang mampu mendukung stamina jangka panjang, terbangkitkan oleh energi psiko-emosional, seperti kekuatan kekuatan cinta, kekuatan harapan, dan kekuatan impian.
Dalam dunia modern dimana kompetisi antarmanusia, antar-organisasi, dan antarbangsa telah menjadi norma, maka high achievement di segala bidang menjadi tiket masuk ke arena pertandingan. Tanpa itu kita cuma jadi penonton. Dan sebagai penonton, kita harus selalu membayar. Dan hebatnya, tidak ada calo yang menjual catutan. Artinya setiap orang harus mengambil tanggung jawab untuk mengembangkan dirinya. Sejalan dengan itu, setiap perusahaan, setiap partai politik, setiap Negara atau organisasi apa pun harus mengambil tanggung jawab serupa.

Sumber :Joe Girard van Detroit oleh Jansen H Sinamo, Direktur Jansen Sinamo WorkEthos Training Center.

Hospitals Gear Up to Promote Customer Satisfaction

Debbie A. Lubis, Contributor, Jakarta
The Jakarta Post, July 24, 2005

Patients want to be satisfied with the quality of care they receive from a hospital. Their interactions with staff members at the hospital will determine whether they will choose the same hospital again or recommend it to others. Therefore, hospitals do their best to tailor their services to the needs of patients as customers.

Dr. Jusuf Kristianto, a health care quality improvement consultant, said hospitals could improve their services if they standardized medical workers' competence and standardized operating procedures in handling patients.

"Malpractice happens because of the failure to comply with the rules and regulations. Doctors and nurses cannot jump to the physical examination stage without doing the preliminary stages."
Jusuf, who is also a lecturer in the postgraduate program at the School of Public Health at the University of Indonesia, said customer satisfaction was included on the curriculum at school for nurses and midwives.

He said there were five dimensions that must receive proper attention from hospitals: the hospitals' physical appearance, the hospitals' competence, career development of medical workers, faith and empathy.

Jusuf has monitored customer satisfaction at three big hospitals in Jakarta. One has achieved 96 percent customer satisfaction, while on average hospitals in big cities in Indonesia are still at the level of 75 percent.

"Hospitals are part of the service industry, which is related or has direct contact with customers. Although the doctors are very smart, if they cannot maintain service quality the patients will run away."
Service quality will help hospitals achieve high efficiency and efficacy, especially in encouraging word-of-mouth promotion.

"Hospitals now realize it is not just the patients who need them. Because without patients, hospitals would die financially and academically," said Samsuridjal Djauzi, a professor at the School of Medicine at the University of Indonesia and the president director of the Dharmais National Cancer Hospital.

Several hospitals in Indonesia now provide dormitories for patients' families and use banks for their billing administration. Patients in the waiting room at Dharmais are entitled to receive free drinks and snacks. The hospital also provides newspapers, a shoe-polish service and an Internet center. There is also a pick-up service to and from the airport for patients from other regions in Indonesia and from abroad. It also provides social workers to accompany patients who need company during their stay.

Dr. Pramadhya Bachtiar, a medical services expert at PT Pertamina Bina Medika Pertamedika, said doctors and other medical workers needed to give time to patients to communicate their problems.
"Hospital staff sometimes consider themselves as higher than the patients. Patients are also human beings. A doctor, for example, cannot receive five patients at the same time in one room because there is no privacy and confidentiality for them to share their problems."

Proper attention should also be given to the patients who have returned home after being hospitalized. Pramadhya said that hospitals could send health care workers to visit such patients and try to help the family provide appropriate home care.
"We need to provide holistic, humanized and individual treatment for patients. A smile can be a good start."

Sufficient information should also be given to patients. According to Hasbullah Thabrany, a professor at the School of Public Health at the University of Indonesia, patients have the right to know about their illness, its risks, alternative treatments and side effects.
Pharmacists should also be helpful by making sure that patients receive sufficient information about the drugs prescribed by doctors.

Hasbullah emphasized the need for giving empathy to patients. "Caring requires more than just prescribing medicine. Through body language and soothing words, doctors can help alleviate the patients' pain."

Ciri-Ciri Pemimpin Yang Berprinsip

Stephen R. Covey
Dalam situasi bisnis sekarang ini tampaknya mudah sekali orang membenarkancara-cara kasar demi tujuan baik. Bagi mereka, "bisnis adalah bisnis",sedangkan "etika dan prinsip terkadang harus mengalah pada keuntungan".Selain itu, banyak juga kita lihat para pelaku dan pemimpin bisnis yangtampak berhasil menumpuk kekayaan, namun di belakang kehidupan merekatampak kacau dan mengenaskan. Padahal bila kita tinjau, hampir setiap minggumuncul teori manajemen baru, namun tampaknya sedikit sekali yang meninggalkan hasil yang diharapkan. Mengapa demikian?
Menurut Stephen R. Covey, penulis buku terkenal, "Seven Habits of Highly Effective People", dalam bukunya yang lain "Principle CenteredLeadership", hal ini disebabkan mereka tidak lagi berpegang pada prinsip dasar yang berlaku di alam ini. Padahal hukum alam, berdasarkan pada prinsip,berlaku tanpa peduli apakah kita menyadarinya atau tidak. Oleh karena itusemestinya kita meletakkan prinsip-prinsip ini di pusat kehidupan, hubungan,kontrak-kontrak manajemen dan seluruh organisasi bisnis anda.
Covey percaya bahwa kesuksesan kita, baik pribadi maupun organisasi,tidak dapat diraih begitu saja. Kesuksesan harus datang dari "dalam diri"dengan berdasarkan pada apa yang kita pahami dan yakini untuk menjadi prinsip yang tak tergoyahkan. Dengan demikian kepemimpinan yang berprinsip memusatkan kehidupan dan kepemimpinan kita pada prinsip-prinsip utama yang benar.
Artikel ini tidak membahas apa itu prinsip menurut Covey, namunmeringkas ciri-ciri pemimpin yang berprinsip. Ciri-ciri dari pemimpin yangmendasarkan tindakannya pada prinsip. Dengan demikian setidaknya kita bisa mengenal bagaimana kepemimpinan yang berpusat pada prinsip itu. Ada delapan ciri-ciri pemimpin yang berprinsip.

1. Mereka terus belajar.
Pemimpin yang berprinsip menganggap hidupnya sebagai proses belajar yangtiada henti untuk mengembangkan lingkaran pengetahuan mereka. Di saatyang sama, mereka juga menyadari betapa lingkaran ketidaktahuan mereka jugamembesar. Mereka terus belajar dari pengalaman. Mereka tidak seganmengikuti pelatihan, mendengarkan orang lain, bertanya, ingin tahu, meningkatkan ketrampilan dan minat baru.

2. Mereka berorientasi pada pelayanan.
Pemimpin yang berprinsip melihat kehidupan ini sebagai misi, bukankarier. Ukuran keberhasilan mereka adalah bagaimana mereka bisa menolong dan melayani orang lain. Inti kepemimpinan yang berprinsip adalah kesediaanuntuk memikul beban orang lain. Pemimpin yang tak mau memikul bebanorang lain akan menemui kegagalan. Tak cukup hanya memiliki kemampuanintelektual, pemimpin harus mau menerima tanggung jawab moral, pelayanan, dan sumbangsih.

3. Mereka memancarkan energi positif.
Secara fisik, pemimpin yang berprinsip memiliki air muka yangmenyenangkan dan bahagia. Mereka optimis, positif, bergairah, antusias, penuh harap, dan mempercayai. Mereka memancarkan energi positif yang akan mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. Dengan energi itu mereka selalu tampil sebagai juru damai, penengah, untuk menghadapi dan membalikkan energi destruktif menjadi positif.

4. Mereka mempercayai orang lain.
Pemimpin yang berprinsip mempercayai orang lain. Mereka yakin orang lainmempunyai potensi yang tak tampak. Namun tidak bereaksi secara berlebihanterhadap kelemahan-kelemahan manusiawi. Mereka tidak merasa hebat saatmenemukan kelemahan orang lain. Ini membuat mereka tidak menjadi naif.

5. Mereka hidup seimbang.
Pemimpin yang berprinsip bukan ekstrimis. Mereka tidak menerima ataumenolak sama sekali. Meraka sadar dan penuh pertimbangan dalam tindakannya. Ini membuat diri mereka seimbang, tidak berlebihan, mampu menguasai diri, dan bijak. Sebagai gambaran, mereka tidak gila kerja, tidak fanatik, tidak menjadi budak rencana-rencana. Dengan demikian mereka jujur pada diri sendiri, mau mengakui kesalahan dan melihat keberhasilan sebagai halyang sejalan berdampingan dengan kegagalan.

6. Mereka melihat hidup sebagai sebuah petualangan.
Pemimpin yang berprinsip menikmati hidup. Mereka melihat hidup iniselalu sebagai sesuatu yang baru. Mereka siap menghadapinya karena rasa amanmereka datang dari dalam diri, bukan luar. Mereka menjadi penuh kehendak, inisiatif, kreatif, berani, dinamis, dan cerdik. Karena berpegang padaprinsip, mereka tidak mudah dipengaruhi namun fleksibel dalam menghadapi hampir semua hal. Mereka benar-benar menjalani kehidupan yangberkelimpahan.

7. Mereka sinergistik.
Pemimpin yang berprinsip itu sinergistik. Mereka adalah katalis perubahan. Setiap situasi yang dimasukinya selalu diupayakan menjadi lebih baik. Karena itu, mereka selalu produktif dalam cara-cara baru dan kreatif. Dalam bekerja mereka menawarkan pemecahan sinergistik, pemecahan yang memperbaiki dan memperkaya hasil, bukan sekedar kompromi dimana masing-masing pihak hanya memberi dan menerima sedikit.

8. Mereka berlatih untuk memperbaharui diri.
Pemimpin yang berprinsip secara teratur melatih empat dimensi kepribadian manusia: fisik, mental, emosi, dan spiritual. Mereka selalu memperbarui diri secara bertahap. Dan ini membuat diri dan karakter mereka kuat, sehat dengan keinginan untuk melayani yang sangat kuat pula.
(Stephen R. Covey, Principle Centered Leadership)

Bawang Putih dan Hipertensi

dr. Pramadhya Bachtiar, M.Kes
Ternyata bawang putih atau Garlic sudah lama digunakan oleh nenek moyang kita untuk mengobati berbagai penyakit. Beragam cara konsumsi telah dilakukan seperti dimakan langsung, dijus dan ditumbuk, tapi cara ini menimbulkan keluhan yaitu bau mulut yang menyengat. Saat ini banyak produk-produk bawang putih impor dalam bentuk kapsul dipasarkan di mal-mal dan rata-rata dijual dengan harga sangat tinggi. Bawang putih memang bagus untuk hampir semua penyakit, termasuk sakit tenggorokan dan pilek. Kandungan sulfur yang membuatnya memiliki bau dan rasa yang khas dapat meningkatkan dan mempercepat kegiatan membran mucous di saluran pernafasan, yang membantu melegakan pemampatan dan mengeluarkan lendir. Sebagai tambahan, bawang putih mentah mengandung phytochemical yang dapat membantu membunuh bakteri dan virus penyebab penyakit. Pada tahun 1992, peneliti dari Universitas Brigham Young di Utah melaporkan bahwa bawang tumbuk dalam minyak membunuh bukan hanya membunuh rhinovirus tipe 2 ( penyebab umum flu), tetapi juga dua macam herpes (penyakit kulit menular) dan beberapa virus umum lain- nya. Kelompok riset di seluruh dunia juga melaporkan sukses yang sama, menggunakan ekstrak bawang putih melawan jamur dan bakteri, menjadikan bawang putih satu di antara obat alami paling efektif lainnya di dunia. Sekarang ada lebih dari 12 studi yang dipublikasikan di seluruh dunia yang memastikan bahwa bawang putih dalam berbagai bentuk dapat menurunkan kolesterol. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa bawang ini dapat menyembuhkan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung. Salah satu studi yang dipublikasikan di "The Journal of the Royal College of Physicians" oleh Silagy CS dan Neil HAW tahun 1994 menyebutkan bahwa bawang putih merupakan agen untuk mengurangi lemak. Peneliti menyatakan bahwa suplemen bawang putih merupakan bagian terpenting dalam penyembuhan kolesterol tinggi. Menurutnya, secara keseluruhan, penurunan terjadi sebesar 12% dari total kolesterol. Penurunan ini untuk setelah baru 4 minggu perawatan, dan penurunan ini masih berlanjut selama studi berlangsung. Studi terbesar dilaksanakan di Jerman, di mana 261 pasien diberikan tablet bubuk bawang putih. Setelah 12 minggu periode perawatan, tingkat kolesterol turun 12% dan trigliserin turun 17%.Sebuah penelitian juga dilakukan oleh Silagy CA dan Neil HA, dua orang peneliti dari Departement of General Practice-Flinder University, di Adelaide, Australia Selatan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui kinerja ekstrak bawang putih bubuk untuk menurunkan hipertensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengonsumsi sediaan bawang putih mengalami penurunan tekanan darah sistolik (tekanan pada dinding pembuluh darah saat jantung berkontraksi). Bukti ilmiah diatas merupakan referensi bahwa bawang putih pantas menjadi alternatif bagi anda yang memiliki keluhan tekanan darah tinggi dan kolesterol tinggi. Karena bawang putih terbukti efektif, aman dikonsumsi dalam jangka waktu lama dan tanpa efek samping !!

[Article] Challenging Your People to Succeed

John Baldoni is a leadership communications consultant who works with Fortune 500 companies as well as non-profits including the University of Michigan. He is a frequent keynote and workshop speaker as well as the author of five books on leadership; the latest is Great Motivation Secrets of Great Leaders (McGraw-Hill). Readers are welcome to visit his leadership resource website at www.johnbaldoni.com.

Leadership and Motivation: Challenging Your People to Succeed
By John Baldoni
 
Nothing fuels the human spirit so much as a challenge. Whether it is an athlete seeking to overcome the odds, or a CEO trying to reinvigorate his company, nothing motivates people more than having a goal. For individuals, goals emerge from inside; they are formed around what makes us happy, which may recognition of our efforts, increased financial rewards, or the inner glow that emerges when we do a good turn for someone. For organizations, goals emerge from a combination of circumstance and leadership.
The circumstance is the situation in which the organization operates; it is shaped by market, social and competitive factors. Leaders of those organizations size up their organization and decide where it must go and how it must get there. But leaders do not do this by themselves; they do it with the collective energy of the people in the organization.Make the challenge clear. The secret to issuing a challenge is to make it clear and then demonstrate how people can attain it. When you keep thing simple, not simple‑minded, you can ensure that the mission remains clear, coherent, and compelling. Leaders must make the challenge real and tangible for everyone in the organization.Identify opportunities.
Every child is asked what do you want to be when you grow up? Leaders of organizations need to ask themselves the very same question. Entrepreneurs excel at this questions because it those questions that give rise to the business. For example, Fred Smith thought it would be possible to create a direct shipping network that could offer next day delivery. Michael Dell wondered how he might apply the direct‑selling model to personal computers. Jeff Bezos conceived the possibility of a global online bookstore. Such thinking spawned Federal Express, Dell Computer, and Amazon respectively.
Frame the challenge. Once an opportunity is selected the leader needs to bring others into the act. They must frame the organizational challenge as an opportunity for personal growth. One of the best ways to motivate people is to give them a challenge. The challenge may be in the form of a new project, such as developing a new marketing plan, or it may be a process, discovering new ways of doing things. Some organizations call them “stretch goals,” meaning they expand an individual’s capability.
At pharmaceutical companies, challenges are a way of life – discovering new compounds to use for next generation drugs. It is a high risk and high reward enterprise but it fosters a strong culture of creativity and innovation. In short people are motivated to succeed because conditions around them foster their own innate desires to achieve. Managers who seek the right challenges for their people will achieve good success if support those challenges with the right blend of delegation and support.Make the challenge real but attainable. Every challenge needs to reach for the sky, otherwise it will fail to capture the imagination of those who can make it happen.
Ari Weinzweig and Paul Saginaw of Zingerman’s have found a terrific way to make entrepreneurial dreams come true for their employees by giving them a stake in new business opportunities. That is how they company expanded from a delicatessen into other food related businesses. They turned the challenge of keeping good people into a business opportunity and supported them along the way. By contrast, if the challenge is too far out there, instead of inspiring people you only frustrate them.
The creative organization. Identifying, framing and supporting challenges are in essence a balancing act, but one way to keep people focused is to engage their creative spirit. Creativity complements the challenge. All too often we tend to think of creativity as something reserved for college students who don’t have a clue about what to do or to artistes who hover in a zone between reality and fantasy. That misconception is costly. The human condition has evolved because of man’s perpetual striving for new, different and better ways of doing things. If this were not the case, our toolbox would consist of nothing more than a single hammer.
Creativity is the pursuit of ideas. It spurs innovation, which you may consider as the application of an idea into an action, e.g. moving from electronic scanning to television, voice over wire to telephony, or Internet to e‑commerce. Managers play an essential role in stimulating creativity by encouraging their people to think for themselves, peppering their minds with new ideas, and finding ways to stimulate creative juices through a free exchange of ideas.
There is an innate desire in all of us to succeed. It falls to the leader to unlock that desire and channel to the organization’s best purpose. In doing so, she weaves the individual’s need for success with the organization’s need to achieve results for its customers and constituents. When challenges are issued and then managed and supported with concern an creativity much can be accomplished. Conditions for motivation flourish and people and organizations flourish.
Note: This article is adapted from ideas expressed in John Baldoni’s newly published Great Motivation Secrets of Great Leaders, McGraw‑Hill, 2005. He can be reached at john@johnbaldoni.com or through his website here.

Andai ini Ramadhan terakhir.....

Wahai dikau...renungkanlah engkau akan nasib diriwahai
Qalbu...sadarkah engkau akan gerak hatiwahai
Akal...terfikirkah engkau akan apa yang bakal terjadi
Andai ini merupakan Ramadhan yang terakhir kali buatmu
Sekujur jasad yang bakal berlalu pergi
Tatkala usia bernoktah di penghujung kehidupan duniawi
Apabila tiba saat tepat seperti yang dijanji Ilahi
Kematian...adalah sesuatu yang pasti
Andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
Tentu siangnya engkau sibuk berzikir
Tentu engkau tak akan jemu melagukan syair rindu
Mendayu..merayu...kepada-NYA Tuhan yang satu
Andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
Tentu sholatmu kau kerjakan di awal waktu
Sholat yang dikerjakan...sungguh khusyuk lagi tawadhu'
Tubuh dan qalbu...bersatu memperhamba diri
Menghadap Rabbul Jalil... menangisi kecurangan janji
"innasolati wanusuki wamahyaya wamamati lillahirabbil'alamin"
[sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan
matiku...kuserahkan hanya kepada Allah Tuhan seru sekelian alam]
Andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
Tidak akan kau sia siakan walau sesaat yang berlalu
Setiap masa tak akan dibiarkan begitu saja
Di setiap kesempatan juga masa yang terluang
Alunan Al-Quran bakal kau dendang...bakal kau syairkan
Andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
Tentu malammu engkau sibukkan dengan berterawih...berqiamullail...bertahajjud
...mengadu...merintih...meminta belas kasih
"sesungguhnya aku tidak layak untuk ke syurga-MU
tapi...aku juga tidak sanggup untuk ke neraka-MU"
Oleh karena itu duhai Ilahi...kasihanilah daku hamba-MU ini
Andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
Tentu dirimu tak akan melupakan mereka yang tersayang
Mari kita meriahkan Ramadhan
Kita buru...kita cari...suatu malam idaman
Yang lebih baik dari seribu bulan
Andai kau tahu ini Ramadhan terakhir
Tentu engkau bakal menyediakan batin dan zahir
Mempersiap diri...rohani dan jasmani
Menanti-nanti jemputan Izrail
di kiri dan kanan ...lorong-lorong ridha Ar-Rahman
Duhai Ilahi....andai ini Ramadhan terakhir buat kami
Jadikanlah ia Ramadhan paling berarti...paling
berseri...menerangi kegelapan hati-hati kami
Menyeru ke jalan menuju ridha serta kasih sayang mu
Ya Ilahi semoga bakal mewarnai kehidupan kami di sana nanti
Namun teman...tak akan ada manusia yang bakal mengetahui
Apakah Ramadhan ini merupakan yang terakhir kali bagi dirinya
yang mampu bagi seorang hamba itu hanyalah
berusaha...bersedia...meminta belas-NYA
Andai benar ini Ramadhan terakhir buat kita
MAAFKAN SEMUA KESALAHAN YANG PERNAH AKU LAKUKAN
MARHABAN YAA RAMADHAN.....

Ten Hard Questions About the Future of the Specialty

editorial
Douglas Iliff, MD

The Future of Family Medicine reports left some key questions unanswered.
Although my practice is thriving, it's hard to escape the conclusion that my specialty is not - and this despite my conviction that family-centered, longitudinal, preventive-oriented medicine is the best model for most patients and our health care system. For many months, I have been cautiously hopeful about the Future of Family Medicine project. I found much to praise in the initial report, despite its overly idealistic and academic tone.1 However, I questioned two unexamined postulates of the project: that American health care consumers respond to the quality of the product rather than the price, and that American health care payers respond readily to long-term quality rather than short-term costs.
As I awaited the Task Force Six report on financing the New Model of family medicine, which I considered the linchpin of the entire initiative, I formulated the following questions and, where possible, my own answers:

Although my practice is thriving, it's hard to escapethe conclusion that my specialty is not.
  1. Why is it easier to fill training slots in gastroenterology, radiology, ob/gyn or orthopedic surgery than family medicine?
    Since the vast majority of medical school applicants profess a longing for primary care, the most tenable answers are (a) the influence of mentors and (b) monetary rewards. I choose (b) as the cause and (a) as the rationalization.
  2. When family physicians have committed to electronic medical records and evidenced-based practice, and research is humming along at thousands of small laboratories, will the demand for prestigious family medicine training slots exceed supply?
    In this imaginary scenario, the quality of family medicine will be the highest in history, but family physicians' income will have shrunk still further due to unreimbursed technology costs and continuing reductions in health plan reimbursements. Students will therefore tender their admiration for family medicine and request a colonoscope for graduation.
  3. Will Medicare, Medicaid and insurance companies, recognizing the cost savings of family medicine, reimburse cognitive services on a par with procedures?
    When hell freezes over.
  4. Since every new screening test, drug, procedure or technique trumpets its global cost-savings, why is the cost of medical care once again spiraling out of control as managed care wanes?
    Those are wink-and-a-sneer confabulations, and we all know it. Coreg vs. atenolol? TPA vs. streptokinase? Plavix vs. aspirin? Most modern drugs offer a 5 percent increase in efficacy at a 1,000 percent increase in cost, and we must remember that 86-year-old nursing home residents now receive triple-bypass surgery and hip replacements on demand.
  5. Does controlling medical inflation involve somebody making a cost-benefit decision and saying "no" to a test, drug, procedure or technique? If so, who?
    Yes. Government, insurance companies, physicians or patients. Any volunteers?
  6. Under whatever form of universal health care envisioned by the AAFP, who would make the rationing decisions?
    Perhaps Task Force Six would answer this one, I thought.
  7. When universal health care is operative, does the Academy imagine that it will muscle family physicians to the front of the reimbursement line more effectively than under the present system?
    Here's another one I couldn't answer.
  8. Why do my patients, who have had the benefits of open-access scheduling, office staff who know them as friends as well as patients, and a doctor who has always provided the "medical home" advocated by the Future of Family Medicine, leave this practice due to a change in insurance that might cost them an additional $5 or $10 per office visit?

    I still believe we're ignoring the real problem: our patients.

    American consumers are exquisitely price-sensitive. I think my patients truly appreciate the "home" we provide, but not as much as they appreciate the $5 or $10. This is not to say they couldn't be sold on my ability to save them money if they had real money at risk, which almost all insured patients do not.
  9. If all cost-benefit decisions were in the hands of patients and those patients stood to benefit financially by wise purchasing decisions, could family physicians compete with other groups of physicians and non-physician providers in a truly open marketplace?
    I wish I knew the answer to this one, too. I know I would be eager to compete; I am certain that I effectively handle more problems per dollar spent on my services than physicians in other specialties. Back in the halcyon days of full capitation, I collected several annual bonus checks in the $60,000 to $80,000 range as a share of the money left over in my pool at the end of the year, but many of my family medicine colleagues did not fare so well.
    Do we really believe in ourselves, or not? The implications are enormous. If we believe our own propaganda, then we want the patient in full command of the money decisions, as with health savings accounts, because this will produce high demand for our services. If we don't, then we need to vastly increase our contributions to political action committees - in order to shoulder our way to the front of the trough.

  10. Believing that we will inspire our patients to make desperately needed lifestyle changes, the AAFP is promoting the untested hypothesis that family physicians should shape up and become better role models. What percentage of patients will be moved to sustained action, lacking any financial incentive or disincentive to do so?
    We all know that lifestyle choices are killing our patients. I don't know what works, but I'm pretty sure I know what doesn't. I've been a perfect role model my whole career, right down to running two Boston marathons and winning an AAFP convention 5K. I've preached diet, exercise and smoking cessation for three decades. Out of 4,000 active patients, at least 400 are in desperate need of overhaul; I pioneered and extensively publicized a program called Basic Training (http://www.iliffbasictraining.com/), and six patients signed up (none of them were among the 400 I targeted). In one form or another, we've all tried wheedling, cajoling and pleading. Personally, I think it's time to hit them in the wallet. Only health savings accounts, among all the ways of financing health care, bring the full bore of moral hazard to bear on this desperate situation.
    Afterthoughts
    Task Force Six was not assigned to answer my questions, so it's not surprising that they didn't. I had assumed that they would assume the otherworldly expectations of the Academy regarding universal health care. To their credit, they did not. Their report2,3 does rely heavily on models of reimbursement (translation for lay persons: optimistic speculations) purporting to show that implementing the new model of family medicine will result in a 61 percent increase in reimbursement, at least when insurance companies finally acknowledge the value of our services and design their reimbursement methods accordingly. Color me skeptical.
    One reimbursement innovation that the report predicts is pay-for-performance. If health plans indeed implement pay-for-performance programs, and if they reward excellent performance with additional money rather than simply punishing poor performance by withholding money, some family physicians will do well. But I doubt this is how it will play out. It's not that I'm cynical about insurance companies; most of my experience is with the local Blue Cross plan, and I think they do an excellent job and really care about their enrollees. But every day I say something like this: "Look. I can fix your problem for $500 a month in drugs, or you can tackle your lifestyle." Either way, I will hit my performance target. But 98 percent of the time, the insurance company is going to pay the freight. And I'm supposed to believe that they're going to reward me, year in and year out? It strains my faith in human nature and corporate decision making.

    Only health savings accounts fit with theindividualistic spirit of Americans.

    Besides, I still believe we're ignoring the real problem: our patients. They are the only ones who can make the rationing decisions in question six, at least in American culture. Health savings accounts are criticized because they are a better deal for healthy patients than sick ones. Bully! I do not have a moral problem with making bad drivers pay more for auto insurance or parachutists pay more for life insurance or smokers pay more for disability insurance. Until there is moral hazard built into health insurance, I don't think Americans are going to pay attention to our advice, work with us to make cost-effective decisions or become full partners in the wholistic system envisioned by the Future of Family Medicine. Of all the financing schemes - past, present or future - only health savings accounts fit with the individualistic spirit of Americans. That's where the AAFP and the rest of the family medicine community need to start the promotional campaign.

It's not stupid.....It's dumb!!!!!

dr. Pramadhya Bachtiar, M.Kes
Bayangkan jika suatu rapat koordinasi hanya diisi dengan peserta yang ngantuk, materi-materi yang selalu diulang dari rapat ke rapat, permasalahan yang klasik tanpa penyelesaian yang "brave", atau peserta yang nulis atau nyorat-nyoret gak karuan. Pasti banyak orang yang akan bilang....."it's waste my time" atau mungkin "it's stupid". Semestinya setiap waktu yang berjalan di suatu perusahaan dapat dimanfaatkan dengan efektif. Perihal rapat, misalnya, harus fokus (tidak perlu melebar kemana-mana); tidak perlu membahas permasalahan yang itu-itu terus. Pastikan rapat itu menjadi ajang untuk tukar menukar informasi, pengambilan keputusan yang bijak (mendengar masukan dari seluruh bagian), merencanakan program kerja yang jelas, mengevaluasi program kerja yang telah berjalan, dan lain sebagainya. Rapat diusahakan sesistematis mungkin, agar peserta rapat tidak jenuh. Keikutsertaan atau peran aktif anggota rapat harus dibangun dengan cara memberikan kesempatan bagi peserta rapat untuk urun bicara. Jika ada peserta rapat yang tidak dikehendaki untuk bicara sebaiknya tidak usah diundang dalam rapat. Hal ini bertujuan untuk menghormati peserta tersebut dan juga agar tidak memperjenuh suasana rapat.
Jadi jelaslah bahwa rapat yang merupakan kegiatan rutin perusahaan, jika tidak dimenej dengan baik akan menjadi sangat tidak efektif. Padahal waktu adalah aset perusahaan yang tidak tergantikan oleh apapun juga, sehingga banyak orang yang sadar betul akan pentingnya waktu akan menganggap kegiatan rapat sebagai suatu kegiatan yang stupid. It's not stupid.....it's dumb.

Pendapatan dan Perilaku Dokter Spesialis

Saat ini dokter spesialis (dsp) di rumahsakit Indonesia mempunyai sistem pembayaran yang dinilai sebagai Earning at Risk, yaitu gaji pokok seorang dsp berada jauh di bawah gaji pokok dsp internasional.
  • Dsp PNS + Swasta: gaji pokok sedikit lebih besar dari model 1, karena posisi dsp ini di RS swasta hanya dokter tamu yang tidak mendapatkan gaji (yang diterima hanya uang transport). Insentif yang diterima pun dapat tak terbatas tergantung dari jumlah pasien.
  • Dsp Swasta: gaji yang diterima cukup besar tetapi masih dibawah standar internasional, ditambah dengan insentif yang juga dapat tak terbatas.
  • Dsp Pertamedika: adalah dsp yang paling beruntung di Indonesia, sudah terima gaji besar (sedikit di bawah standar internasional) ditambah dengan insentif yang juga sangat besar sehingga take home pay menjadi luar biasa. Hal ini harus segera diperbaiki karena cepat atau lambat perusahaan akan terus digerogoti secara finansial. Insentif yang tidak terbatas menyerupai penghargaan untuk seniman atau olahragawan yang superstar. Akibat dari tidak terbatasnya insentif akan menyebabkan kesulitan dalam perencanaan karena tidak ada standar pendapatan. Selain itu, perbedaan antara seorang dokter berpendapatan tinggi dan dokter berpendapatan rendah akan menjadi besar.
  • Dsp Malaysia: Ini adalah model ideal dalam penerapan keseimbangan antara gaji dan insentif. Di Malaysia gaji dsp ditetapkan langsung oleh pemerintah, sehingga tidak ada perbedaan antar dsp satu dengan lainnya. Begitu juga dengan insentifnya, dibatasi dengan batasan maksimal. Dsp tidak lagi "mengejar setoran" seperti yang lazim di Indonesia. Setiap dsp dibatasi (jumlah) dalam menangani pasien, sehingga kualitas pelayanan dan komunikasi dokter dapat terjaga. Setiap pasien mendapat perhatian optimal dari dsp yang merawatnya.
Digali dari berbagai sumber: dr. Pramadhya Bachtiar, M.Kes

Kekuatan dan Kelemahan Pembayaran Fee For Service

Senin, 13 September 2010

Ten Hard Questions About the Future of Family Doctor

editorial
Douglas Iliff, MD

The Future of Family Medicine reports left some key questions unanswered.

Although my practice is thriving, it's hard to escape the conclusion that my specialty is not - and this despite my conviction that family-centered, longitudinal, preventive-oriented medicine is the best model for most patients and our health care system. For many months, I have been cautiously hopeful about the Future of Family Medicine project. I found much to praise in the initial report, despite its overly idealistic and academic tone.1 However, I questioned two unexamined postulates of the project: that American health care consumers respond to the quality of the product rather than the price, and that American health care payers respond readily to long-term quality rather than short-term costs.

As I awaited the Task Force Six report on financing the New Model of family medicine, which I considered the linchpin of the entire initiative, I formulated the following questions and, where possible, my own answers:
  • Why is it easier to fill training slots in gastroenterology, radiology, ob/gyn or orthopedic surgery than family medicine?
Since the vast majority of medical school applicants profess a longing for primary care, the most tenable answers are (a) the influence of mentors and (b) monetary rewards. I choose (b) as the cause and (a) as the rationalization.
  • When family physicians have committed to electronic medical records and evidenced-based practice, and research is humming along at thousands of small laboratories, will the demand for prestigious family medicine training slots exceed supply?
In this imaginary scenario, the quality of family medicine will be the highest in history, but family physicians' income will have shrunk still further due to unreimbursed technology costs and continuing reductions in health plan reimbursements. Students will therefore tender their admiration for family medicine and request a colonoscope for graduation.
  • Will Medicare, Medicaid and insurance companies, recognizing the cost savings of family medicine, reimburse cognitive services on a par with procedures?
When hell freezes over.
  • Since every new screening test, drug, procedure or technique trumpets its global cost-savings, why is the cost of medical care once again spiraling out of control as managed care wanes?
Those are wink-and-a-sneer confabulations, and we all know it. Coreg vs. atenolol? TPA vs. streptokinase? Plavix vs. aspirin? Most modern drugs offer a 5 percent increase in efficacy at a 1,000 percent increase in cost, and we must remember that 86-year-old nursing home residents now receive triple-bypass surgery and hip replacements on demand.
  • Does controlling medical inflation involve somebody making a cost-benefit decision and saying "no" to a test, drug, procedure or technique? If so, who?
Yes. Government, insurance companies, physicians or patients. Any volunteers?
  • Under whatever form of universal health care envisioned by the AAFP, who would make the rationing decisions?
Perhaps Task Force Six would answer this one, I thought.
  • When universal health care is operative, does the Academy imagine that it will muscle family physicians to the front of the reimbursement line more effectively than under the present system?
Here's another one I couldn't answer.
  • Why do my patients, who have had the benefits of open-access scheduling, office staff who know them as friends as well as patients, and a doctor who has always provided the "medical home" advocated by the Future of Family Medicine, leave this practice due to a change in insurance that might cost them an additional $5 or $10 per office visit?
American consumers are exquisitely price-sensitive. I think my patients truly appreciate the "home" we provide, but not as much as they appreciate the $5 or $10. This is not to say they couldn't be sold on my ability to save them money if they had real money at risk, which almost all insured patients do not.
  • If all cost-benefit decisions were in the hands of patients and those patients stood to benefit financially by wise purchasing decisions, could family physicians compete with other groups of physicians and non-physician providers in a truly open marketplace?
I wish I knew the answer to this one, too. I know I would be eager to compete; I am certain that I effectively handle more problems per dollar spent on my services than physicians in other specialties. Back in the halcyon days of full capitation, I collected several annual bonus checks in the $60,000 to $80,000 range as a share of the money left over in my pool at the end of the year, but many of my family medicine colleagues did not fare so well.
Do we really believe in ourselves, or not? The implications are enormous. If we believe our own propaganda, then we want the patient in full command of the money decisions, as with health savings accounts, because this will produce high demand for our services. If we don't, then we need to vastly increase our contributions to political action committees - in order to shoulder our way to the front of the trough.
  • Believing that we will inspire our patients to make desperately needed lifestyle changes, the AAFP is promoting the untested hypothesis that family physicians should shape up and become better role models. What percentage of patients will be moved to sustained action, lacking any financial incentive or disincentive to do so?
We all know that lifestyle choices are killing our patients. I don't know what works, but I'm pretty sure I know what doesn't. I've been a perfect role model my whole career, right down to running two Boston marathons and winning an AAFP convention 5K. I've preached diet, exercise and smoking cessation for three decades. Out of 4,000 active patients, at least 400 are in desperate need of overhaul; I pioneered and extensively publicized a program called Basic Training (http://www.iliffbasictraining.com/), and six patients signed up (none of them were among the 400 I targeted). In one form or another, we've all tried wheedling, cajoling and pleading. Personally, I think it's time to hit them in the wallet. Only health savings accounts, among all the ways of financing health care, bring the full bore of moral hazard to bear on this desperate situation.
Afterthoughts
Task Force Six was not assigned to answer my questions, so it's not surprising that they didn't. I had assumed that they would assume the otherworldly expectations of the Academy regarding universal health care. To their credit, they did not. Their report2,3 does rely heavily on models of reimbursement (translation for lay persons: optimistic speculations) purporting to show that implementing the new model of family medicine will result in a 61 percent increase in reimbursement, at least when insurance companies finally acknowledge the value of our services and design their reimbursement methods accordingly. Color me skeptical.
One reimbursement innovation that the report predicts is pay-for-performance. If health plans indeed implement pay-for-performance programs, and if they reward excellent performance with additional money rather than simply punishing poor performance by withholding money, some family physicians will do well. But I doubt this is how it will play out. It's not that I'm cynical about insurance companies; most of my experience is with the local Blue Cross plan, and I think they do an excellent job and really care about their enrollees. But every day I say something like this: "Look. I can fix your problem for $500 a month in drugs, or you can tackle your lifestyle." Either way, I will hit my performance target. But 98 percent of the time, the insurance company is going to pay the freight. And I'm supposed to believe that they're going to reward me, year in and year out? It strains my faith in human nature and corporate decision making.
Besides, I still believe we're ignoring the real problem: our patients. They are the only ones who can make the rationing decisions in question six, at least in American culture. Health savings accounts are criticized because they are a better deal for healthy patients than sick ones. Bully! I do not have a moral problem with making bad drivers pay more for auto insurance or parachutists pay more for life insurance or smokers pay more for disability insurance. Until there is moral hazard built into health insurance, I don't think Americans are going to pay attention to our advice, work with us to make cost-effective decisions or become full partners in the wholistic system envisioned by the Future of Family Medicine. Of all the financing schemes - past, present or future - only health savings accounts fit with the individualistic spirit of Americans. That's where the AAFP and the rest of the family medicine community need to start the promotional campaign.

Positive Physician Incentive

Given the prevalence of capitation to reimburse physicians in southern California, and the negative incentives such as withholds that still are occasionally found there, a Medicaid HMO in Los Angeles is making modest positive payments totaling $2 million to medical groups for achievements in preventive care and clinical data gathering.

L.A. Care, with about 660,000 Medi-Cal lives in the city and county of Los Angeles, designed the bonus reimbursements as incentives for continuing improvement, says Lily Otieno, manager of medical administration. For example, a medical group or IPA might win an award for performance in the first quarter of this year on a HEDIS preventive care measure that is 5% above a baseline performance rate. To win an award for the second quarter, a group might have to push that rate up to 7% or 8% above the baseline rate, Otieno explains. The first checks under the program went out to providers in the first quarter.

In addition to HEDIS measures, the three other criteria for awards are improving the capture of encounter data, successful completion of the "Staying Healthy" or behavioral risk assessment tool, and improvement in provider-specific data. The encounter data awards are meant for payers, not medical groups. The behavioral assessment tool is required but not reimbursed by the California Department of Health Services (DHS), which runs the Medi-Cal program. Thus the awards are a way of paying for an effort that's required for Medicaid patients, but not commercial ones.

Among the criteria that were considered for these incentives, but were rejected at least for now, were passing a detailed site inspection of physician offices, serving as a test site for improvements in preventive care and data collection, and (for payers) helping to establish a master provider credentialing database.

L.A. Care does not directly reimburse groups or physicians, nor does it pay the bonuses directly. Rather, it provides care through seven commercial payers or "Plan Partners," such as Maxicare, Kaiser Permanente and Blue Cross of California, that carry global risk on the Medi-Cal patients. Six of the seven payers are running the incentive program. Those payers are working with about 130 groups or IPAs that are eligible for these incentives, employing more than 3,000 physicians who treat L.A. Care patients. Most of the groups have risk contracts with the payers.

L.A. Care has asked the payers to publicize the incentives to provider groups so that the latter will understand the program's goals.

The $2 million to be awarded is a relatively small amount compared to the $720 million in Medi-Cal revenues that L.A. Care received last year. The incentives amount to about $3 per patient. The size of the program was held down because L.A. Cafe's funds come from public sources, and because the program needed the approval of DHS and the California Department of Managed Health Care.

Otieno says the $2 million are "paid out of excess funds," or profit from a recent year. There's no current plan to continue these incentives in future years.

Contact Otieno at (213) 251-8300 ext. 4207.
COPYRIGHT 2001 Atlantic Information Services, Inc.COPYRIGHT 2003 Gale Group

Pelayanan Berfokus Pelanggan

Radar Banten, 18 September 2005
dr. Pramadhya Bachtiar*

Tanggal 4 September memang sudah dua minggu berlalu, tetapi amat jarang masyarakat yang mengetahui apa makna tanggal tersebut. Mungkin hanya segelintir orang yang memperhatikan beberapa spanduk yang dipajang di pinggir jalan dan pintu tol. Hari itu, adalah Hari Pelanggan Nasional yang sama sekali tak terdengar “bunyi”-nya. Seakan masyarakat dan kalangan industri juga tidak menggubris. Seperti biasa, di Indonesia dalam memaknai sesuatu hanya dari permukaannya saja. Begitu juga dengan ”Hari Pelanggan Nasional” ini, yang penting sudah ada spanduk yang bisa dibaca oleh masyarakat. Setelah itu ”so what gitu loh?”. Entah pada hari itu kemudian stasiun TV yang jumlahnya sudah lebih dari selusin, kemudian menayangkan acara yang bertajuk tentang ”Pelanggan” atau tidak. Semua terlihat hanya bersifat seremonial saja. Begitu juga dengan pemberian awards ini dan itu. Untuk siapa semua itu? Untuk perusahaan yang kemudian mendapat ”cap” sebagai perusahaan dengan perhatian yang luar biasa terhadap pelanggan. Atau memang benar-benar untuk pelanggan mereka?

Bagaimana di negara tetangga?
Di negara-negara jiran, yang namanya pelanggan benar-benar dimanjakan. Bagaimana tidak, selain memiliki program-program yang bersifat seremonial dan berbau publisitas (baca: pemasangan spanduk dan pemberian awards ini-itu), mereka secara diam-diam justru memiliki program komprehensif yang dapat diimplementasikan dalam setiap jenis industri (barang maupun jasa). Program-program tersebut dibuat oleh masing-masing industri. Meskipun berbeda tetapi memiliki kesamaan ”benang merah” yaitu ”Bagaimana menjadi industri yang di”gilai” pelanggannya. Mereka tidak lagi berpikir untuk menjadi perhatian pelanggan domestik. Mereka mulai mengincar pangsa pasar empuk yaitu masyarakat kelas menengah-atas Indonesia. Sebagaimana kita tahu bahwa Indonesia dengan jumlah penduduk yang mendekati 220 juta jiwa merupakan pasar yang sangat mengiurkan. Umpama 10 % saja merupakan masyarakat kelas atas, artinya ada sebanyak 22 juta jiwa yang dapat dijadikan pelanggan potensial. Pelanggan potensial artinya adalah pelanggan yang jika dilayani dengan baik sampai pada tingkat unanticipated, mereka tidak segan-segan merogoh kantongnya sedalam apapun. Peluang ini sangat disadari oleh pelaku industri negara jiran.
Dalam hal ini peran pemerintah sangatlah penting, terutama dalam menciptakan iklim berusaha yang berfokus kepada pelanggan. Pemerintah negara jiran sangat memfasilitasi berkembangnya budaya pelayanan perusahaan yang berfokus kepada pelanggan. Budaya Asia yang paternalistik mampu dimanfaatkan optimal oleh pemerintah dalam membangun komitmen setiap perusahaan terhadap kepuasan pelanggan. Pemerintah mereka sadar betul akan minimnya sumber daya alam dalam bersaing terhadap Indonesia yang terkenal sangat beragam sumber daya alam baik dalam jumlah maupun jenis. Upaya yang mereka tempuh adalah dengan memberdayakan sumber daya manusia, agar dapat ”menjual diri” guna menghasilkan devisa. Perilaku ”menjual diri” yang baik mampu ditunjukkan oleh setiap aparat pemerintah dalam melayani masyarakat dalam negerinya. Perilaku inilah yang kemudian menjadi patron bagi kalangan industrinya.

Bagaimana dengan Indonesia?
Kekhawatiran mulai muncul saat para pelanggan potensial mulai mencari industri yang mampu memenuhi dan melampaui keinginan dan kebutuhan mereka, dan telah menembus batas negara. Katakan saja salah satu rumahsakit di Malaysia yang + 30% pasiennya berasal dari Indonesia. Bukan mustahil angka tersebut akan terus bertambah sejalan dengan perbaikan pelayanan yang mereka lakukan, dan sejalan pula dengan semakin cuek-nya kita terhadap “makhluk” yang bernama pelanggan.
Saatnya kita lupakan spanduk-spanduk yang berisi slogan kosong tanpa makna, saatnya kita memaknai lebih dalam pada awards ini-itu, saatnya pemerintah dapat menjadi patron yang baik dalam memulai memberi contoh yang benar dalam pelayanan terhadap pelanggan dengan berorientasi kepada kepuasan dan loyalitas mereka. Pesaing sudah di depan mata bahkan sudah mampu membuat mata menjadi kelilipan.Jika ingin memenangkan globalisasi tak ada pilihan lain selain memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan, dimana daripadanya revenue kita dapatkan. Tidak usahlah berpikir untuk memasarkan produk ke luar negeri, jikapun bisa itu lebih baik. Yang perlu mendapat perhatian adalah pelanggan kelas atas yang berjumlah 10-15% penduduk Indonesia, karena jumlah itu jauh diatas penduduk Singapura, Malaysia bahkan mungkin lebih tinggi dari jumlah seluruh penduduk Australia. Jadi, tunggu apalagi.

* Ahli layanan medis PT. Pertamina Bina Medika

Training Sebagai Sebuah Solusi

Radar Karawang, 11 September 2005
dr. Pramadhya Bachtiar*


Siapapun pelanggan pasti senang jika dilayani dengan memuaskan. Hasil interaksi antara pelanggan dengan petugas di suatu institusi akan menentukan apakah pelanggan tersebut akan kembali menggunakan jasa/produk yang sama atau mengajak orang lain untuk menggunakan jasa/produk institusi tersebut atau tidak. Oleh karenanya, setiap institusi bisnis baik jasa maupun manufaktur harus berusaha sebaik mungkin dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pelanggannya.

Berdasarkan hirarki, perusahaan di Indonesia yang telah memiliki sistem pelayanan pelanggan yang terbaik adalah institusi per-Bank-an, perhotelan dan restoran, yang disusul dengan institusi kesehatan dan yang agak lambat adalah institusi pendidikan. Persaingan bisnis yang sangat ketat, menuntut dunia per-Bank-an berlomba-lomba memperbaiki dan menyusun ulang konsep pelayanan pelanggan. Dengan dibukanya katup perijinan Bank asing di Indonesia, Bank-Bank domestik semakin “dipaksa” untuk senantiasa memperhatikan dan memberikan pelayanan kepada nasabah lebih individual/pribadi. Pelayanan pelanggan di industri kesehatan (baca:perumahsakitan) juga mulai bergeliat. Gencarnya pemasangan iklan rumahsakit asing di media surat khabar membuat rumahsakit-rumahsakit di Indonesia mulai berpikir untuk memberikan pelayanan yang berfokus kepada pelanggan. Hubungan dokter-pasien tidak lagi semata-mata hubungan formal yang kaku. Dokter telah berubah, tidak lagi menjadi ”dewa” dalam memberikan terapi. Tetapi dokter adalah partner pasien dalam menangani permasalahan sakit yang dideritanya. Komunikasi antara petugas medis dengan pasien diutamakan untuk proses penyembuhan pasien baik di rawat inap maupun di rawat jalan.

Selama ini institusi rumahsakit menganggap kegiatan yang mereka lakukan lebih pada "menyediakan jasa pelayanan kesehatan bagi masyarakat" bukan "bisnis kesehatan", sehingga pekerja rumahsakit ”merasa” menjadi penguasa atas seluruh kegiatan pelayanan. Sedangkan pada ”bisnis kesehatan” mereka dituntut untuk mencari pelanggan. Hal ini menjadikan faktor pelanggan berperan dalam menentukan keputusan bisnis rumahsakit tersebut.

Sekarang semuanya telah berubah, meskipun ada juga pelaku bisnis yang belum menyadari pergeseran budaya ini. Pelayanan berfokus kepada pelanggan yang pada mulanya dianggap aneh, sekarang justru menjadi primadona. Pelanggan berhak menentukan institusi yang menurutnya ”pas” di hati. Hal ini menyebabkan persaingan bisnis semakin sulit dikendalikan dan turbulensi iklim berbisnis senantiasa juga terus bergejolak.

Harus dimulai dari mana?
Banyak perusahaan yang menyadari adanya perubahan yang demikian cepat itu. Tetapi tidak sedikit pula yang menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Hal yang paling penting bagi perusahaan adalah memberikan pemahaman yang benar kepada seluruh pekerja tentang pentingnya pelanggan bagi kelangsungan bisnis yang digeluti. Tahap selanjutnya adalah membuat rencana kerja jangka pendek dan jangka panjang dalam memberikan pelayanan yang fokus kepada pelanggan.

Salah satu contoh program jangka pendek yang mudah dan murah serta dapat dilakukan oleh seluruh pekerja adalah ”tersenyum” dan mengucapkan ”Terima kasih” kepada semua pelanggan yang telah menggunakan jasa atau produk perusahaan. Meskipun sepertinya sepele, tetapi untuk menjadi suatu budaya perusahaan diperlukan waktu yang cukup panjang. Atau hal lain adalah dengan membudayakan kata ”ma’af” jika pelanggan merasa kurang nyaman atau marah/tersinggung dengan pelayanan yang diberikan. Belajarlah untuk senantiasa menjadi ”pelayan” bagi setiap pelanggan dan tidak menjadi superior. Sependapat dengan Kyai AA. Gymnastiar, ”melakukan perubahan tidaklah mudah, tetapi harus dilakukan dari yang mampu kita kerjakan, dari yang kecil dan dari sekarang”.

Agar industri di Indonesia tetap hidup atau bahkan tumbuh dan berkembang dibutuhkan komitmen seluruh pekerja untuk selalu memberikan pelayanan terbaik bagi semua pelanggannya. Khusus untuk industri jasa, sekitar 68% pelanggan berpindah ke perusahaan pesaing disebabkan karena buruknya pelayanan. Mayoritas perusahaan yang masuk ke Indonesia atau menjaring pasar Indonesia adalah perusahaan yang telah memiliki paradigma pelayanan yang berfokus kepada pelanggan. Sebut saja Rumah Sakit Pantai Medical Center di Kuala Lumpur, Malaysia, selain menawarkan kenyamanan perawatan, harga yang tidak jauh berbeda, penginapan untuk keluarga pasien, prosedur pemeriksaan yang cepat dan masih banyak hal lain yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pelanggannya. Tak heran jika perusahaan di Indonesia tidak sigap mengantisipasi, maka pasar potensial dalam negeri akan tersedot habis oleh perusahaan asing.

Training merupakan solusi?
Menurut Edward Deming rasio kesalahan pelayanan pelanggan adalah 15% karena kesalahan pekerja dan 85% adalah ketidakmampuan sistem. Jika setelah dianalisa ternyata ketidakpuasan pelanggan akibat kesalahan pekerja, maka solusinya adalah dengan memberikan training atau pelatihan kepada pekerja. Tetapi jika hal tersebut karena ketidakmampuan sistem diperusahaan maka pemecahannya adalah dengan memperbaiki sistem tersebut. Jadi training / pelatihan bukan merupakan ”obat” atau satu-satunya cara dalam memperbaiki pelayanan pelanggan. PT Prognosis Consulting, merupakan salah satu perusahaan konsultansi yang menawarkan kedua solusi di atas. Dengan didukung oleh para pakar di bidangnya, PT Prognosis Consulting mencoba membantu perusahaan-perusahaan dalam menyongsong era globalisasi dengan meningkatkan kemampuan memberikan layanan yang terbaik bagi pelanggan. PT Prognosis Consulting memberikan pendekatan kepada karyawan untuk dapat memahami pentingnya paradigma ”melayani” bukan karena tuntutan management, tetapi tuntutan pelanggan yang sebenarnya menjadi asal dari gaji mereka setiap bulannya. Juga melatih mereka untuk mampu men”deliver service” kepada customer sesuai budaya target pelanggan mereka, karena service tidak generik, service sangatlah tailormade.
Jadi jelaslah bahwa yang berbeda dari suatu perusahaan sehingga dapat tumbuh dan berkembang adalah pelayanan yang berfokus kepada pelanggan. Hanya sayangnya, perusahaan yang telah memfokuskan diri kepada pelanggan masih didominasi oleh perusahaan asing dan kerjasama dengan asing. Jika perusahaan ingin tetap survive atau tumbuh dan berkembang tidak ada pilihan lain adalah dengan memberikan pelayanan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pelanggan.

* Managing Director of PT. Prognosis Consulting

The Marketing Mix

The 4 P's of Marketing
The major marketing management decisions can be classified in one of the following four categories:
  • Product
  • Price
  • Place (distribution)
  • Promotion
These variables are known as the marketing mix or the 4 P's of marketing. They are the variables that marketing managers can control in order to best satisfy customers in the target market. The marketing mix is portrayed in the following diagram:


The firm attempts to generate a positive response in the target market by blending these four marketing mix variables in an optimal manner.

Product
The product is the physical product or service offered to the consumer. In the case of physical products, it also refers to any services or conveniences that are part of the offering. Product decisions include aspects such as function, appearance, packaging, service, warranty, etc.

Price
Pricing decisions should take into account profit margins and the probable pricing response of competitors. Pricing includes not only the list price, but also discounts, financing, and other options such as leasing.

Place
Place (or placement) decisions are those associated with channels of distribution that serve as the means for getting the product to the target customers. The distribution system performs transactional, logistical, and facilitating functions. Distribution decisions include market coverage, channel member selection, logistics, and levels of service.

Promotion
Promotion decisions are those related to communicating and selling to potential consumers. Since these costs can be large in proportion to the product price, a break-even analysis should be performed when making promotion decisions. It is useful to know the value of a customer in order to determine whether additional customers are worth the cost of acquiring them. Promotion decisions involve advertising, public relations, media types, etc.

A Summary Table of the Marketing Mix
The following table summarizes the marketing mix decisions, including a list of some of the aspects of each of the 4Ps.
Summary of Marketing Mix Decisions


Recommended Reading

Schewe, Charles D., and Alexander Hiam, The Portable MBA in Marketing

This book is a crash course covering most of the marketing topics taught in MBA programs, including the marketing concept, the 4 P's of marketing, marketing research, marketing strategy, and segmentation, targeting, and positioning.